Sabtu, 31 Agustus 2013

Mengenal Bahasa Gayo

KATA Gayo mengacu pada nama dataran tinggi di Provinsi Aceh, nama suku yang bermukim di dataran tinggi tersebut, dan nama bahasa yang digunakan suku tersebut. Jadi, dapat dikatakan Dataran Tinggi Gayo ditempati Suku Gayo yang berkomunikasi menggunakan bahasa Gayo.
Dataran Tinggi Gayo merupakan bagian Bukit Barisan yang membentang sepanjang Pulau Sumatra. Menurut silsilah kekerabatan, bahasa Gayo termasuk subkelompok Bahasa Melayu Polinesia Barat dalam rumpun Bahasa Austronesia (Bellwood, 2000:153).
Gayo terbagi menjadi lima kelompok, yaitu (1) Gayo Lut yang mendiami daerah sekitar Laut Tawar, (2) Gayo Deret yang mendiami daerah Kecamatan Lingga dan sekitarnya, dan (3) Gayo Lues yang mendiami daerah bekas kewidanaan Blang Keujren dan sebagian daerah bekas kewidanaan Kutacane, Gayo Lukup/Serbejadi yang mendiami daerah Kecamatan Lukup/Serbejadi, dan (5) Gayo Kalul yang mendiami daerah-daerah bagian timur Kabupaten Aceh Timur sampai dengan Pulo Tige (Baihaqi, dkk., 1981:1).
Bahasa Gayo merupakan salah satu bahasa daerah yang terdapat di Aceh. Bahasa ini digunakan oleh masyarakat yang mendiami Aceh Tengah, Bener Meriah, Blang Kejeren di Gayo Lues, sebagian Masyarakat Aceh Tenggara, masyarakat Lokop di Aceh Timur, serta masyarakat Tanah Jambo Aye Aceh Utara dan Tamiang Hulu (Wildan, 2010:2).
Berdasarkan pembagian wilayah kabupaten, bahasa Gayo memiliki tiga dialek (Dardanila, 2004:2). Bahasa Gayo dialek Gayo Lut dipakai oleh suku Gayo yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah. Dialek Lut memiliki dua subdialek, yaitu Bukit dan Cit. Bahasa Gaya dialek Gayo Lues dipakai di Kabupaten Aceh Tenggara. Bahasa Gayo dialek Serbejadi dipakai di Kabupaten Aceh Timur.
Bahasa Gayo memiliki 6 fungsi, yaitu sebagai(1) lambang identitas masyarakat Gayo, (2) lambang kebanggaan masyarakat Gayo, (3) alat komunikasi dalam keluarga dan masyarakat lokal Gayo, (4) pengungkap pikiran dan kehendak masyarakat Gayo, (5) pendukung kebudayaan Gayo yang meliputi bidang kesenian, adat-istiadat, agama, dan lain sebagainya, dan (6) pilar penyangga kebudayaan Indonesia.
Karena bahasa Gayo memiliki kedudukan seperti yang disebutkan di atas dan juga merupakan bagian dari kebudayaan yang hidup dalam masyarakat, kegiatan inventarisasi, pembinaan, pemeliharaan, dan pengembangan bahasa ini perlu dilakukan untuk mendukung bahasa Indonesia dan budaya Indonesia. (Sumber : Atjeh Post)
Inventarisasi berkaitan dengan pengumpulan data atau pencatatan yang meliputi kegiatan-kegiatan, hasil yang dicapai, pendapat umum, surat kabar, kebudayaan, dsb. Jadi, inventarisasi bahasa Gayo berarti pengumpulan data atau pencatatan segala hal yang berkaitan dengan bahasa Gayo.

Sebagai bahasa yang memiliki kedudukan dalam masyarakat serta bagian dari kebudayaan yang hidup dalam masyarakat, kegiatan inventarisasi terhadap bahasa Gayo sudah banyak dilakukan para peneliti, baik Indonesia maupun asing.
Hal tersebut meru­pakan pertanda bahwa bahasa Gayo bukanlah bahasa baru di Aceh. Menurut hasil penelitian, bahasa ini sudah ada di Aceh sebelum Masehi. Namun, belum diketahui periodisasi pasti perihal perkembangan bahasa ini.
Peneliti asing yang pernah meneliti bahasa Gayo misalnya Domenyk Eades dalam bukunya A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra, pada 2005. Dalam bukunya itu Eades menyebutkan, “Gayo belongs to the Malayo-Polynesian branch of the Austronesian family of languages. Malayo-Polynesian languages are spoken in Taiwan, the Philippines, mainland South-East Asia, western Indonesia…(bahasa Gayo termasuk rumpun bahasa Melayu Polinesia, dan cabang rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Melayu Polinesia dituturkan di Taiwan, Filipina, Asia Tenggara, Indonesia bagian barat)”
Ada juga hasil penelitian lain yang menyebutkan bahwa bahasa Gayo berbeda dengan bahasa Alas. Hal ini terlihat dengan jelas pada kata dan bentuk-bentuk kata dalam bahasa Alas. Baik kata maupun bentuk kata dalam bahasa Alas, banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa seperti bahasa Karo, Pakpak, Singkil, Aceh, dan Gayo (Effendy, dalam Melalatoa, 1982:52).
Jadi, bahasa Gayo hanyalah salah satu bahasa yang turut mempengaruhi bahasa Alas. Malahan menurut pendapat ahli lain, bahasa Alas dapat dianggap sebagai dialek ketiga dari bahasa Batak Utara di samping dialek Karo dan Dairi (Voorhoeve, 1955:13).
Bahasa Gayo juga memiliki kekhasan yang tentu saja berbeda dengan bahasa rumpun Melayu Polinesia lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat pada berbagai segi, misalnya penekanan kata, penggunaan kata, tingkat-tingkat bahasa seperti yang terdapat dalam bahasa Jawa.
Dari segi tingkat bahasa, misalnya, dalam bahasa Gayo terdapat kosakata atau tekanan suara tertentu yang penggunaannya memperhatikan tingkatan dan usia lawan bicara. (Sumber : Atjeh Post)
Sopan santun dalam bahasa Gayo
Bicara masalah bahasa Gayo, tentu saja tak akan pernah habis-habisnya. Banyak keunikan bahasa ini yang masih belum ‘dijamah’ oleh para ahli dan peminat bahasa.
Penulis membahas selintes keunikan itu. Tentu saja yang penulis utarakan di sini meru­pakan hasil penelitian. Keunikan yang cukup kentara terlihat dalam bahasa Gayo berkaitan dengan tingkatan pemakaian kata seperti yang dikenal dalam bahasa Jawa (dalam bahasa Jawa ada istilah ngoko dan kromo).
Ada orang berpendapat, bahasa Gayo hampir tidak mengenal tingkatan pemakaian kata seperti dalam bahasa Jawa. Armoza (1961:24) menyebutkan bahwa dalam bertutur kata dengan orang yang dihormati, dengan orang yang sebaya atau setara, atau yang lebih rendah statusnya, masyarakat Gayo lebih menekankan pada tekanan suara yang lemah lembut atau tekanan biasa (Armoza, 1961:24).
Kepada pihak yang dianggap lebih tinggi akan digunakan kata tertentu atau tekanan suara yang berbeda jika dibandingkan dengan orang setara atau lebih rendah (Melalatoa, 1982:55). Tinggi rendah itu mungkin dilihat dari segi usia atau berdasarkan tutur (sistem istilah kekerabatan) yang dianggap lebih tinggi, misalnya, kepada siapa harus memanggil bapak, ibu, atau paman.
Istilah bapak atau ibu, selain berarti orang tua kandung sendiri, juga berarti mertua atau saudara laki-laki ayah. Di antara kerabat yang satu generasi lebih tua, ada juga kasus yang dapat dihadapi dengan tekanan suara yang setara dengan ego, yaitu suami adik perempuan ayah (kil). Bahkan ada kerabat yang dua tingkat lebih tinggi (kakek), tekanan suara tidak harus lemah lembut. Namun, bagi orang yang berusia tua yang belum dikenal, tekanan suara harus lemah lembut.
Tuturan yang digunakan oleh pihak-pihak yang masih setara untuk menyatakan ‘kamu’ adalah kata ko sepanjang yang bersangkutan belum berumah tangga. Namun, jika pihak yang setara ini telah berumah tangga, bentuk sapaan yang digunakan adalah kam. Adakalanya kata kam seakan merupakan bentuk jamak dari kata ko. Kepada orang yang lebih rendah statusnya akan dipanggil ko. Akan tetapi, kalau seseorang sudah kawin sampai menjelang mempunyai anak, orang tersebut biasanya disapa dengan aman mayak untuk laki dan inen mayak untuk perempuan.
Panggilan inen mayak untuk perempuan lebih kurang hanya satu tahun. Selebihnya tidak lagi. Apabila pengantin perempuan tadi sudah punya anak, panggilan inen mayak tidak digunakan lagi. Jika anaknya laki-laki, si pengantin akan dipanggil inen win, tetapi jika anaknya perempuan, si pengantin dipanggil inen ipak.

from : http://lintasgayo.co/2013/08/10/mengenal-bahasa-gayo

Happy Writing. Happy Reading ^_^

Kamis, 22 Agustus 2013

what's up??? -Google Glass-

Assalamualaikum semuanya..
Well, inilah tulisan pertama saya di akhir Agustus ini. Yap, ditulisan kali ini, saya membahas tentang salah satu tekhnologi canggih di abad ini. Tekhnologi canggih itu adalah GOOGLE GLASS. Google bersiap menjual kacamata pintar bernama Google Glass. Ia dibekali beragam kecanggihan yang malah membuatnya keren.

Google Glass adalah kacamata pintar yang beberapa fungsinya dapat merekam video, menjepret foto cukup dengan perintah suara, dengan mengedip saja, penggunanya bisa langsung memotret apa yang sedang dilihatnya, atau mengenali wajah seseorang cukup dengan memandang. Pendeteksian gerakan mata atau "eye tracking" sendiri belum tersedia di Google Glass. Tapi aplikasi kacamata pintar ini bisa dibuat mengenali "gestur mata" seperti misalnya kedipan atau melakukan "unlock" dengan gerakan mata. Selain itu, paten Google juga menerangkan teknologi "latent pre-searching" di mana Google Glass bisa mencari informasi tentang benda-benda di luar cakupan visual pengguna sehingga bisa langsung ditampilkan begitu benda yang bersangkutan masuk dalam pandangan.

Tapi kehebatan teknologi ini justru dianggap sebagai perangkat mata-mata. Bahkan, beberapa restoran melarang pemakaian Google Glass dengan alasan mengganggu privasi pengunjung. Padahal, perangkat itu belum dijual bebas.

Ada kekhawatiran Google Glass bisa merusak mata. Google sudah memperingatkan perangkat ini jangan dipakai anak usia di bawah 13 tahun karena mungkin mengganggu penglihatan. Kacamata pintar Google Glass versi komersil diprediksi tidak akan dibanderol dengan harga yang mahal. Menurut seorang analis, perangkat masa depan ini bisa saja dijual dengan harga hanya 300 dollar AS atau sekitar Rp 3 juta.
Prediksi tersebut diutarakan oleh lembaga riset asal Taiwan, Topology Research Institute. Perkiraan harga ini berdasarkan dari harga komponen yang disinyalir akan digunakan Google Glass nantinya. Komponen proyektor mini ini dibuat oleh perusahaan Himax Display dan memiliki harga antara 30 hingga 35 dollar AS saja. 

Google tampaknya akan memilih Himax Display untuk menyuplai komponen tersebut. Prediksi tersebut diambil mengingat Google memiliki saham yang cukup besar di perusahaan asal Taiwan ini, yaitu sebesar 6,3 persen. Saham tersebut dibelinya pada 22 Juli 2013 yang lalu.

Tidak disebutkan rincian harga komponen lainnya. Namun, salah satu komponen termahal yang ada di produk tersebut adalah proyektornya. Kemungkinan besar, komponen lain tidak akan memiliki harga yang jauh berbeda.

"Kami percaya perangkat wearable akan menghadapi gelombang peningkatan pertama dalam tiga tahun awal karena fitur inovatifnya, dan kemudian akan mengalami peningkatan besar di fase berikutnya saat pasar ini sudah lebih siap," kata Jason Tsai, Chief Topology Research, seperti dikutip dari Phone Arena, Senin (12/8/2013).

Google sendiri sudah merilis Google Glass, tetapi hanya untuk kalangan terbatas saja, yaitu developer. Harganya pun sangat tinggi, 1.500 dollar AS atau sekitar Rp 15 juta. Produk ini pun tidak bisa diperjualbelikan secara bebas karena masih berupa purwarupa.

Hehe.. jadi pengen punya satu ni.  Dan tentu saja, disetiap tekhnologi itu, ada dampak positif serta negatifnya :) Be a smart people! :)

From : http://tekno.kompas.com/read/2013/08/13/0737255/harga.google.glass.kurang.dari.rp.5.juta dan http://id.berita.yahoo.com/5-teknologi-yang-mengancam-manusia-235053732.html juga
Happy Writing, Happy Reading ^_^