Dataran Tinggi Gayo merupakan bagian Bukit Barisan yang membentang
sepanjang Pulau Sumatra. Menurut silsilah kekerabatan, bahasa Gayo
termasuk subkelompok Bahasa Melayu Polinesia Barat dalam rumpun Bahasa
Austronesia (Bellwood, 2000:153).
Gayo terbagi menjadi lima kelompok, yaitu (1) Gayo Lut yang mendiami daerah sekitar Laut Tawar, (2) Gayo Deret yang mendiami daerah Kecamatan Lingga dan sekitarnya, dan (3) Gayo Lues yang mendiami daerah bekas kewidanaan Blang Keujren dan sebagian daerah bekas kewidanaan Kutacane, Gayo Lukup/Serbejadi yang mendiami daerah Kecamatan Lukup/Serbejadi, dan (5) Gayo Kalul yang mendiami daerah-daerah bagian timur Kabupaten Aceh Timur sampai dengan Pulo Tige (Baihaqi, dkk., 1981:1).
Bahasa Gayo merupakan salah satu bahasa daerah yang terdapat di Aceh. Bahasa ini digunakan oleh masyarakat yang mendiami Aceh Tengah, Bener Meriah, Blang Kejeren di Gayo Lues, sebagian Masyarakat Aceh Tenggara, masyarakat Lokop di Aceh Timur, serta masyarakat Tanah Jambo Aye Aceh Utara dan Tamiang Hulu (Wildan, 2010:2).
Berdasarkan pembagian wilayah kabupaten, bahasa Gayo memiliki tiga dialek (Dardanila, 2004:2). Bahasa Gayo dialek Gayo Lut dipakai oleh suku Gayo yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah. Dialek Lut memiliki dua subdialek, yaitu Bukit dan Cit. Bahasa Gaya dialek Gayo Lues dipakai di Kabupaten Aceh Tenggara. Bahasa Gayo dialek Serbejadi dipakai di Kabupaten Aceh Timur.
Bahasa Gayo memiliki 6 fungsi, yaitu sebagai(1) lambang identitas masyarakat Gayo, (2) lambang kebanggaan masyarakat Gayo, (3) alat komunikasi dalam keluarga dan masyarakat lokal Gayo, (4) pengungkap pikiran dan kehendak masyarakat Gayo, (5) pendukung kebudayaan Gayo yang meliputi bidang kesenian, adat-istiadat, agama, dan lain sebagainya, dan (6) pilar penyangga kebudayaan Indonesia.
Karena bahasa Gayo memiliki kedudukan seperti yang disebutkan di atas dan juga merupakan bagian dari kebudayaan yang hidup dalam masyarakat, kegiatan inventarisasi, pembinaan, pemeliharaan, dan pengembangan bahasa ini perlu dilakukan untuk mendukung bahasa Indonesia dan budaya Indonesia. (Sumber : Atjeh Post)
Gayo terbagi menjadi lima kelompok, yaitu (1) Gayo Lut yang mendiami daerah sekitar Laut Tawar, (2) Gayo Deret yang mendiami daerah Kecamatan Lingga dan sekitarnya, dan (3) Gayo Lues yang mendiami daerah bekas kewidanaan Blang Keujren dan sebagian daerah bekas kewidanaan Kutacane, Gayo Lukup/Serbejadi yang mendiami daerah Kecamatan Lukup/Serbejadi, dan (5) Gayo Kalul yang mendiami daerah-daerah bagian timur Kabupaten Aceh Timur sampai dengan Pulo Tige (Baihaqi, dkk., 1981:1).
Bahasa Gayo merupakan salah satu bahasa daerah yang terdapat di Aceh. Bahasa ini digunakan oleh masyarakat yang mendiami Aceh Tengah, Bener Meriah, Blang Kejeren di Gayo Lues, sebagian Masyarakat Aceh Tenggara, masyarakat Lokop di Aceh Timur, serta masyarakat Tanah Jambo Aye Aceh Utara dan Tamiang Hulu (Wildan, 2010:2).
Berdasarkan pembagian wilayah kabupaten, bahasa Gayo memiliki tiga dialek (Dardanila, 2004:2). Bahasa Gayo dialek Gayo Lut dipakai oleh suku Gayo yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah. Dialek Lut memiliki dua subdialek, yaitu Bukit dan Cit. Bahasa Gaya dialek Gayo Lues dipakai di Kabupaten Aceh Tenggara. Bahasa Gayo dialek Serbejadi dipakai di Kabupaten Aceh Timur.
Bahasa Gayo memiliki 6 fungsi, yaitu sebagai(1) lambang identitas masyarakat Gayo, (2) lambang kebanggaan masyarakat Gayo, (3) alat komunikasi dalam keluarga dan masyarakat lokal Gayo, (4) pengungkap pikiran dan kehendak masyarakat Gayo, (5) pendukung kebudayaan Gayo yang meliputi bidang kesenian, adat-istiadat, agama, dan lain sebagainya, dan (6) pilar penyangga kebudayaan Indonesia.
Karena bahasa Gayo memiliki kedudukan seperti yang disebutkan di atas dan juga merupakan bagian dari kebudayaan yang hidup dalam masyarakat, kegiatan inventarisasi, pembinaan, pemeliharaan, dan pengembangan bahasa ini perlu dilakukan untuk mendukung bahasa Indonesia dan budaya Indonesia. (Sumber : Atjeh Post)
Inventarisasi berkaitan dengan pengumpulan data atau
pencatatan yang meliputi kegiatan-kegiatan, hasil yang dicapai, pendapat
umum, surat kabar, kebudayaan, dsb. Jadi, inventarisasi bahasa Gayo
berarti pengumpulan data atau pencatatan segala hal yang berkaitan
dengan bahasa Gayo.
Sebagai bahasa yang memiliki kedudukan dalam masyarakat serta bagian dari kebudayaan yang hidup dalam masyarakat, kegiatan inventarisasi terhadap bahasa Gayo sudah banyak dilakukan para peneliti, baik Indonesia maupun asing.
Hal tersebut merupakan pertanda bahwa bahasa Gayo bukanlah bahasa baru di Aceh. Menurut hasil penelitian, bahasa ini sudah ada di Aceh sebelum Masehi. Namun, belum diketahui periodisasi pasti perihal perkembangan bahasa ini.
Peneliti asing yang pernah meneliti bahasa Gayo misalnya Domenyk Eades dalam bukunya A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra, pada 2005. Dalam bukunya itu Eades menyebutkan, “Gayo belongs to the Malayo-Polynesian branch of the Austronesian family of languages. Malayo-Polynesian languages are spoken in Taiwan, the Philippines, mainland South-East Asia, western Indonesia…(bahasa Gayo termasuk rumpun bahasa Melayu Polinesia, dan cabang rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Melayu Polinesia dituturkan di Taiwan, Filipina, Asia Tenggara, Indonesia bagian barat)”
Ada juga hasil penelitian lain yang menyebutkan bahwa bahasa Gayo berbeda dengan bahasa Alas. Hal ini terlihat dengan jelas pada kata dan bentuk-bentuk kata dalam bahasa Alas. Baik kata maupun bentuk kata dalam bahasa Alas, banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa seperti bahasa Karo, Pakpak, Singkil, Aceh, dan Gayo (Effendy, dalam Melalatoa, 1982:52).
Jadi, bahasa Gayo hanyalah salah satu bahasa yang turut mempengaruhi bahasa Alas. Malahan menurut pendapat ahli lain, bahasa Alas dapat dianggap sebagai dialek ketiga dari bahasa Batak Utara di samping dialek Karo dan Dairi (Voorhoeve, 1955:13).
Bahasa Gayo juga memiliki kekhasan yang tentu saja berbeda dengan bahasa rumpun Melayu Polinesia lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat pada berbagai segi, misalnya penekanan kata, penggunaan kata, tingkat-tingkat bahasa seperti yang terdapat dalam bahasa Jawa.
Dari segi tingkat bahasa, misalnya, dalam bahasa Gayo terdapat kosakata atau tekanan suara tertentu yang penggunaannya memperhatikan tingkatan dan usia lawan bicara. (Sumber : Atjeh Post)
Sebagai bahasa yang memiliki kedudukan dalam masyarakat serta bagian dari kebudayaan yang hidup dalam masyarakat, kegiatan inventarisasi terhadap bahasa Gayo sudah banyak dilakukan para peneliti, baik Indonesia maupun asing.
Hal tersebut merupakan pertanda bahwa bahasa Gayo bukanlah bahasa baru di Aceh. Menurut hasil penelitian, bahasa ini sudah ada di Aceh sebelum Masehi. Namun, belum diketahui periodisasi pasti perihal perkembangan bahasa ini.
Peneliti asing yang pernah meneliti bahasa Gayo misalnya Domenyk Eades dalam bukunya A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra, pada 2005. Dalam bukunya itu Eades menyebutkan, “Gayo belongs to the Malayo-Polynesian branch of the Austronesian family of languages. Malayo-Polynesian languages are spoken in Taiwan, the Philippines, mainland South-East Asia, western Indonesia…(bahasa Gayo termasuk rumpun bahasa Melayu Polinesia, dan cabang rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Melayu Polinesia dituturkan di Taiwan, Filipina, Asia Tenggara, Indonesia bagian barat)”
Ada juga hasil penelitian lain yang menyebutkan bahwa bahasa Gayo berbeda dengan bahasa Alas. Hal ini terlihat dengan jelas pada kata dan bentuk-bentuk kata dalam bahasa Alas. Baik kata maupun bentuk kata dalam bahasa Alas, banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa seperti bahasa Karo, Pakpak, Singkil, Aceh, dan Gayo (Effendy, dalam Melalatoa, 1982:52).
Jadi, bahasa Gayo hanyalah salah satu bahasa yang turut mempengaruhi bahasa Alas. Malahan menurut pendapat ahli lain, bahasa Alas dapat dianggap sebagai dialek ketiga dari bahasa Batak Utara di samping dialek Karo dan Dairi (Voorhoeve, 1955:13).
Bahasa Gayo juga memiliki kekhasan yang tentu saja berbeda dengan bahasa rumpun Melayu Polinesia lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat pada berbagai segi, misalnya penekanan kata, penggunaan kata, tingkat-tingkat bahasa seperti yang terdapat dalam bahasa Jawa.
Dari segi tingkat bahasa, misalnya, dalam bahasa Gayo terdapat kosakata atau tekanan suara tertentu yang penggunaannya memperhatikan tingkatan dan usia lawan bicara. (Sumber : Atjeh Post)
Sopan santun dalam bahasa Gayo
Bicara masalah bahasa Gayo, tentu saja tak akan pernah
habis-habisnya. Banyak keunikan bahasa ini yang masih belum ‘dijamah’
oleh para ahli dan peminat bahasa.
Penulis membahas selintes keunikan itu. Tentu saja yang penulis utarakan di sini merupakan hasil penelitian. Keunikan yang cukup kentara terlihat dalam bahasa Gayo berkaitan dengan tingkatan pemakaian kata seperti yang dikenal dalam bahasa Jawa (dalam bahasa Jawa ada istilah ngoko dan kromo).
Ada orang berpendapat, bahasa Gayo hampir tidak mengenal tingkatan pemakaian kata seperti dalam bahasa Jawa. Armoza (1961:24) menyebutkan bahwa dalam bertutur kata dengan orang yang dihormati, dengan orang yang sebaya atau setara, atau yang lebih rendah statusnya, masyarakat Gayo lebih menekankan pada tekanan suara yang lemah lembut atau tekanan biasa (Armoza, 1961:24).
Kepada pihak yang dianggap lebih tinggi akan digunakan kata tertentu atau tekanan suara yang berbeda jika dibandingkan dengan orang setara atau lebih rendah (Melalatoa, 1982:55). Tinggi rendah itu mungkin dilihat dari segi usia atau berdasarkan tutur (sistem istilah kekerabatan) yang dianggap lebih tinggi, misalnya, kepada siapa harus memanggil bapak, ibu, atau paman.
Istilah bapak atau ibu, selain berarti orang tua kandung sendiri, juga berarti mertua atau saudara laki-laki ayah. Di antara kerabat yang satu generasi lebih tua, ada juga kasus yang dapat dihadapi dengan tekanan suara yang setara dengan ego, yaitu suami adik perempuan ayah (kil). Bahkan ada kerabat yang dua tingkat lebih tinggi (kakek), tekanan suara tidak harus lemah lembut. Namun, bagi orang yang berusia tua yang belum dikenal, tekanan suara harus lemah lembut.
Tuturan yang digunakan oleh pihak-pihak yang masih setara untuk menyatakan ‘kamu’ adalah kata ko sepanjang yang bersangkutan belum berumah tangga. Namun, jika pihak yang setara ini telah berumah tangga, bentuk sapaan yang digunakan adalah kam. Adakalanya kata kam seakan merupakan bentuk jamak dari kata ko. Kepada orang yang lebih rendah statusnya akan dipanggil ko. Akan tetapi, kalau seseorang sudah kawin sampai menjelang mempunyai anak, orang tersebut biasanya disapa dengan aman mayak untuk laki dan inen mayak untuk perempuan.
Panggilan inen mayak untuk perempuan lebih kurang hanya satu tahun. Selebihnya tidak lagi. Apabila pengantin perempuan tadi sudah punya anak, panggilan inen mayak tidak digunakan lagi. Jika anaknya laki-laki, si pengantin akan dipanggil inen win, tetapi jika anaknya perempuan, si pengantin dipanggil inen ipak.
from : http://lintasgayo.co/2013/08/10/mengenal-bahasa-gayo
Happy Writing. Happy Reading ^_^
Penulis membahas selintes keunikan itu. Tentu saja yang penulis utarakan di sini merupakan hasil penelitian. Keunikan yang cukup kentara terlihat dalam bahasa Gayo berkaitan dengan tingkatan pemakaian kata seperti yang dikenal dalam bahasa Jawa (dalam bahasa Jawa ada istilah ngoko dan kromo).
Ada orang berpendapat, bahasa Gayo hampir tidak mengenal tingkatan pemakaian kata seperti dalam bahasa Jawa. Armoza (1961:24) menyebutkan bahwa dalam bertutur kata dengan orang yang dihormati, dengan orang yang sebaya atau setara, atau yang lebih rendah statusnya, masyarakat Gayo lebih menekankan pada tekanan suara yang lemah lembut atau tekanan biasa (Armoza, 1961:24).
Kepada pihak yang dianggap lebih tinggi akan digunakan kata tertentu atau tekanan suara yang berbeda jika dibandingkan dengan orang setara atau lebih rendah (Melalatoa, 1982:55). Tinggi rendah itu mungkin dilihat dari segi usia atau berdasarkan tutur (sistem istilah kekerabatan) yang dianggap lebih tinggi, misalnya, kepada siapa harus memanggil bapak, ibu, atau paman.
Istilah bapak atau ibu, selain berarti orang tua kandung sendiri, juga berarti mertua atau saudara laki-laki ayah. Di antara kerabat yang satu generasi lebih tua, ada juga kasus yang dapat dihadapi dengan tekanan suara yang setara dengan ego, yaitu suami adik perempuan ayah (kil). Bahkan ada kerabat yang dua tingkat lebih tinggi (kakek), tekanan suara tidak harus lemah lembut. Namun, bagi orang yang berusia tua yang belum dikenal, tekanan suara harus lemah lembut.
Tuturan yang digunakan oleh pihak-pihak yang masih setara untuk menyatakan ‘kamu’ adalah kata ko sepanjang yang bersangkutan belum berumah tangga. Namun, jika pihak yang setara ini telah berumah tangga, bentuk sapaan yang digunakan adalah kam. Adakalanya kata kam seakan merupakan bentuk jamak dari kata ko. Kepada orang yang lebih rendah statusnya akan dipanggil ko. Akan tetapi, kalau seseorang sudah kawin sampai menjelang mempunyai anak, orang tersebut biasanya disapa dengan aman mayak untuk laki dan inen mayak untuk perempuan.
Panggilan inen mayak untuk perempuan lebih kurang hanya satu tahun. Selebihnya tidak lagi. Apabila pengantin perempuan tadi sudah punya anak, panggilan inen mayak tidak digunakan lagi. Jika anaknya laki-laki, si pengantin akan dipanggil inen win, tetapi jika anaknya perempuan, si pengantin dipanggil inen ipak.
from : http://lintasgayo.co/2013/08/10/mengenal-bahasa-gayo
Happy Writing. Happy Reading ^_^